P E M B U K A A N

Selamat Datang di Halaman Saya...

Segala isi dalam blog ini merupakan kumpulan dari kiriman2 yang terdahulu dari site2 yang telah ada ataupun telah tutup. Namun tidak menutup kemungkinan juga apabila ada para pembaca yang mau menceritakan cerita baik itu itu pengalaman pribadi, teman, adik, kakak, om, tante, maupun hanya karangan saja akan berusaha kami terbitkan asalkan tidak ada mengandung SARA ajha, untuk mengirimkan cerita silahkan kirimkan e-mail ke empu nya 17 ploes ploes. Blog ini di khususkan bagi yang telah dewasa atau yang umur nya telah 17 ke atas sesuai dgn nama nya 17 ploes ploes. Bagi yang belum cukup umur, sok alim, munafik, ataupun gak doyan dengan yang beginian harap langsung di tutup saja halaman ini, dan jangan banyak cuap.

** SELAMAT MEMBACA **

Senin, 26 April 2010

Gairah Tante Vivi (Bagian-1)

Tante Vivi menyuruhku datang malam ini ke rumahnya. Sebenarnya agak malas juga dan khawatir, bagaimanapun saya lebih senang mengajak Selva, pacarku untuk menemani, ini membuatku ragu-ragu untuk berangkat.
9.15 malam: Aku masih ragu-ragu..., berangkat..., tidak..., berangkat..., tidak.
9.25 malam: Akhirnya Tante Vivi tanpa kuduga benar-benar menelepon, kebetulan aku sendiri yang menerima.
"Lho..., Ar..., kok kamu belum berangkat, bisa dateng tidak Ar?..", tanyanya kendengaran agak kecewa.
"Mm..., gimana ya Tante..., agak gerimis nih di sini...", sahutku beralasan.
"Masa iya Ar..., yaah..., kalo gitu Tante jemput aja yaa...", balasnya seolah tak mau kalah. Aku jadi blingsatan dibuatnya.
"Waah..., tidak usah deh Tante..., okelah saya ke sana sekarang Tante..., mm Selva saya ajak ya Tante...", sahutku kemudian. Aku pikir ke sana malm-malam mau tidak mau akhirnya pasti harus nginap. Kalau ada Selva kan aku tidak begitu risih, masa aku bawa Selva pulang malam-malam. Tapi...
"iih..., jangan Ar..., Selva jangan diajak..., mm pokoknya ke sini aja dulu Ar..., yaa..., Tante tunggu..., Klik", sekali lagi seolah disengaja Tante Vivi langsung memutuskan hubungan. Sialan pikirku, dia mengerjaiku, ngapain malam-malam ke sana kaya tidak ada waktu siang atau pagi kek. Aku jadi kesal, ngapain Selva kemarin cerita kalau aku banyak ngerti masalah Komputer. Wuueek..., kaya pakar wae..., sekarang baru kena getahnya.
Akhirnya dengan perasaan malas, malam itu benar-benar agak gerimis, badanku sampai kedinginan terkena rintik air gerimis malam yang dingin
.Sekitar pukul 10.00 malam: Aku sampai juga di tempat Tante Vivi, suasana di komplek perumahan itu sudah sepi sekali, aku membuka pintu pagar yang sengaja belum dikunci dan kumasukkan sepeda motor ke dalam.
Belum sempat aku mengetuk pintu, ternyata Tante Vivi rupanya sudah mengetahui kedatanganku. Mungkin ia mendengar deru suara motorku ketika datang tadi.
"aahh..., akhirnya dateng juga kamu Ar...", katanya ramah dari balik pintu depan.
"Iya..., Tante...", sahutku berusaha ramah, bagaimanapun aku masih setengah kesal, sudah datang malam-malam kehujanan lagi.
"Agak gerimis ya Ar...", tanyanya seolah tak mau tau.
"Hsii...", Tanpa sadar aku terbersin.
"Eehh..., kamu Flu Ar...", tanyanya kemudian.
Aku mengusap wajah dan hidungku yang setengah lembab terkena air gerimis. Tante Vivi menarik tanganku masuk ke dalam dan menutup pintu. "Klik...", sekaligus menguncinya. Aku tak begitu memperhatikannya karena aku sendiri kuatir dengan kondisiku yang terasa agak meriang. Kuusap berulang kali wajahku yang dingin. Lalu tiba-tiba kurasakan sebuah telapak tangan yang hangat dan lembut membantu ikut mengusap pipi kananku.
"Pipimu dingin sekali Ar..., kamu pasti masuk angin yaa..., Tante bikinin susu jahe anget yaa...", sahutnya lembut. Aku menoleh dan astaga wajahnya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. "Duh..., cantiknya". Kulitnya yang putih mulus dan halus, matanya yang hitam bulat sedikit sipit dengan bentuk alisnya yang hitam memanjang tanpa celak, hidungnya yang kecil bangir, dan bentuk bibirnya yang menawan tanpa lipstik. Terlihat sedikit tebal dan begitu ranum. Sexy sekali bibirnya. Tante Vivi tersenyum kecil melihatku setengah melongo.
"Kamu duduk dulu Ar..., Tante ke belakang dulu...", sahutnya pelan.
Tanpa menunggu jawabanku, ia membalikkan tubuh dan bergegas berjalan melintasi ruang tengah menuju ke belakang. Tubuhnya yang tingginya mungkin sekitar 160 cm kelihatan begitu seksi ramping dan padat. Sempat kulihat langkah kakinya yang berjalan sangat elok, saat itu kuingat jelas ia memakai celana Jeans putih ketat serta memakai baju kemeja halus berwarna merah muda dan dibiarkan berada di luar celana. Baju yang dikenakannya seperti umumnya baju kemeja sekarang yang relatif panjang, membuat celana jeans yang dikenakannya tertutup sampai ke atas paha. Namun karena sifatnya yang lemas, membuat bajunya itu seolah menempel ketat pada bentuk tubuhnya yang memang sangat seksi dan montok. Pinggulnya yang bulat padat bergoyang indah kekiri dan kanan. Begitu gemulai bagai penari Jaipong.
Kuhempaskan pantatku dengan perasaan lelah di atas sofa empuk ruang tamunya. Aku memandang ke sekeliling ruangan tamunya yang cukup mewah. Lukisan besar pemandangan alam bergaya naturalis tergantung di atas tembok persis di belakang tempat dudukku. Selebihnya berupa lukisan-lukisan naturalis sederhana yang berbingkai kecil dan sedang tentang suasana kehidupan pulau Bali. Aku tak begitu tertarik dengan lukisan, sehingga aku tak sampai mengamati lama-lama.
Sepuluh menit kemudian, Tante Vivi muncul dengan segelas besar susu jahe yang masih kelihatan panas, karena asapnya masih terlihat mengepul. Dengan wajah cerah dan senyum manis bibirnya yang menggemaskan, mau tak mau aku jadi ikutan senang.
"Waah..., asiik nih kelihatannya..., wangi lagi baunya..., mm..", kataku spontan.
"Pelan-pelan Ar..., masih panas...", sahutnya pendek, sambil memberikan minuman jahe itu kepadaku. Lalu tanpa risih ia duduk di sebelahku. Aku jadi deg-degan juga.
"Gimana kuliah Selva Ar..., kapan nih rencana mau majunya...", tanya Tante Vivi kemudian.
"Entah Tante..., setahu saya sih bulan depan ini dia harus menyelesaikan seluruh asistensi skripsinya. Soal maju ujian skripsi saya kurang tau Tante..", sahutku polos.
"iih.., kamu ini gimana sih Ar..., pacarnya sendiri kok tidak tahu, asyiik pacaran aja yaa rupanya...", ujar Tante Vivi setengah bercanda.
"aah..., Tau aja Tante..., tidak salah...", sahutku sambil ketawa nyaring.
"Kamu menyukai dia Ar...", tanya Tante Vivi kemudian, seolah setengah malas menanggapi candaku.
" Waah..., Tante ini gimana sih..., ya jelas dong Tante..., lagipula sekarang kami sudah sangat serius menjalin hubungan ini..., saya mencintainya Tante...", sahutku sedikit serius.
Tante Vivi tersenyum kepadaku, giginya yang putih bersih terawat kelihatan indah, serasi dengan bentuk bibirnya yang tak terlalu lebar.
"Tidak Ar..., Tante khan cuman nanya..., soalnya Tante lihat Selva sayang sekali sama kamu...", ujarnya kemudian.
"Jangan kuatir deh Tante...", sahutku pelan sambil mulutku mulai menyeruput wedang susu jahe bikinannya itu. Terasa sedikit pedas di bibir namun hangat manis di lidah dan kerongkonganku.
"Komputernya di taruh mana Tante...", tanyaku tanpa memandangnya sambil terus seteguk demi seteguk menghabiskan minumanku.
"Tuh..., di kamar kerja Tante...",sahutnya pendek. Sejenak aku meletakkan minuman dan memandang Tante Vivi yang berada di sebelahku.
"Lalu tunggu apalagi nih...", ujarku setengah bercanda.
"Apanya...?", tanya Tante Vivi seakan tak mengerti. Pandangan matanya kelihatan sedikit bingung.
"Lhoh..., katanya pengen diker..., eeh diajarin...", lanjutku. Hampir aja aku kelepasan ngomong ngeres, jantungku sampai kaget sendiri dag-dig-dug tidak karuan. Untung tidak kebablasan ngomomg.
"ooh..., iya.., aduuh Tante sampai kaget..., Yuk ke kamar Ar...", sahutnya sambil mencolek lenganku. Kami berdiri dan berjalan beriringan ke tempat yang ia maksud. Kami melintasi ruangan tengah yang lebih lapang dan mewah. Kulihat sebuah meja pendek tempat dudukan pesawat Televisi ukuran besar mungkin sekitar 51 inchi lengkap dengan satu set sound systemnya sekaligus berada di sebelah kiri ruang itu. Sedangkan kami menuju ke sebuah ruangan di sebelah kanan yang pintunya sudah setengah terbuka. Tante Vivi menyilahkanku masuk duluan.
"Masuk Ar..., sorry ruangannya agak berantakan...", ujarnya sambil memberi jalan. Aku masuk dulu kedalam ruangan diikuti Tante Vivi. Ruangan atau kamar itu cukup besar berukuran 5 x 7 meter dan pada umumnya tampak rapi walau masih ada sedikit acak-cakan karena di atas lantai persis di depan tempatku berdiri yang terhampar sebuah karpet berukuran sedang tampak berserakan beberapa majalah wanita yang halamannya masih terbuka disana-sini. Di depannya ada sebuah meja kerja yang cukup besar, dan di atas meja terdapat beberapa buah buku kecil dan agenda kerja, selain itu terlihat 2 kardus besar dan beberapa kardus kecil yang aku sudah hapal bentuk dan cirinya, apalagi pada kardus besar yang berbentuk kotak itu terdapat tulisan besar GoldStar Monitor. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, waah..., ternyata di situ terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Kasurnya jelas Spring Bed yang terlihat dari ukurannya yang tebal, tertutup dengan sprei berwarna merah jambu. Bantalnya bertumpuk rapi di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah meja kecil dan seperangkat mini stereo.
"Waduuh..., ini tempat kerja apa kamar Tante...?", tanyaku heran dan kagum. Bagiku ruangan selapang ini terlalu besar untuk kamar tidur. Kamarku sendiri yang berukuran 3x4 meter aja menurutku sudah gede, apalagi sebesar ini.
"Dua-duanya Ar..., ya kamar kerja ya..., tempat tidur..., mm..., Tante khan cuman sendirian di rumah ini Ar...", sahut Tante Vivi yang berada di sebelah kananku.
"Sendirian..., maksud Tante?", tanyaku kepadanya tak mengerti.
"Lhoh..., apa Selva tidak pernah bilang sama kamu..., Tante khan..., sudah bercerai Ar...", sahutnya kemudian. Kedengaran sekali kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit terpatah-patah.
Astaga..., seruku dalam hati. Pantas, seolah baru menyadari. Selama ini aku tak pernah ingat apalagi menanyakan tentang suami Tante Vivi ini. Jadi selama ini Tante Vivi itu seorang Janda. Ya ampuun..., kenapa aku tak menyadari sejak semula. Semenjak pertama kali aku datang ke sini bersama Selva, memang aku tak melihat orang lain lagi selain Inem pembantunya. Waktu itu kupikir suaminya sedang bekerja. Pantas ketika aku datang tadi hanya Tante Vivi sendirian yang menyambutku. Jadii..., hatiku jadi setengah grogi juga. Aku jadi teringat tentang beberapa kisah nyata di majalah yang pernah kubaca tentang kehidupan seorang janda muda, terutama sekali mengenai soal seks. Pada umumnya katanya mereka sangat mudah dirayu dan tak jarang juga pintar merayu. Jangan-jangan..., pikirku mulai ngeres lagi.
"ooh..., maaf Tante saya baru tahu sekarang...", ujarku lirih sejenak kemudian. Tante Vivi tersenyum kecil.
" Udahlah Ar..., itu masa lalu..., tidak usah diungkit lagi...", ujarnya setengah menghindar. Terlihat ada setetes air menggenang di pelupuk kedua matanya yang indah.
Sedetik kemudian ia sengaja memalingkan mukanya dari tatapanku, mungkin ia tak ingin terlihat sedih di depanku. Kemudian ia berjalan ke depan dan setengah berjongkok memunguti semua majalah yang masih berserakan di atas karpet, spontan aku segera menyusul hendak membantunya.
"Sini Ari bantu Tante...", kataku pendek. Tanpa menoleh ke arahnya aku langsung nimbrung mengumpulkan majalah yang masih tersisa.
"iih sudah Ar..., tidak usah..., kok kamu ikutan repot...",sahutnya. Kali ini wajahnya kulihat sudah cerah kembali. Bibirnya yang ranum setengah terbuka menyunggingkan sebuah senyuman manis. Manis sekali. Aku sempat terpana selama 2 detik.
" Tante tidak menikah lagi...?", tanyaku padanya tanpa sadar. Sedikit kaget juga aku dengan pertanyaanku, jangan-janga ia marah atau sedih kembali. Namun ternyata tidak, sambil tetap tersenyum ia balik bertanya.
"Siapa yang mau sama aku Ar...?"
"aah..., Ari kira banyak Tante..."
"Siapaa...?"
"Ari juga mau Tante...", kataku cuek, karena maksudku memang bercanda. Ia mendelik lalu sambil setengah ketawa tangannya mencubit lenganku sekaligus mendorongku ke samping.
"Hik..., hik..., kamu ini ada-ada aja Ar..., jangan nyindir gitu dong Ar, memangnya gampang cari laki-laki jaman sekarang...", ujarnya. Lalu kulihat ia terduduk diam seribu bahasa. Aku jadi heran sekaligus geli melihatnya melamun sambil memegangi majalah.
"Kenapa Tante... ", tanyaku padanya. Tante Vivi sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Namun sambil tersenyum kecut ia hanya menjawab pendek.
"Sudahlah Ar..., jangan bicara masalah itu...". Akupun tak mengubernya walau sebenarnya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dulu dengan perceraiannya.
Singkat cerita, malam itu aku hanya menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk merakit komputer barunya. Untung saja Tante Vivi membeli komputer jenis Build Up sehingga aku tak perlu untuk memeriksa 2 kali, cuman periksa tegangan input, tinggal sambung kabel ke monitor dan CPU, pasang external modem, pasang speaker aktifnya ke output soundcard, sambung ke stavolt..., sudah beres.
"Sudah beres Tante..., mm..., mau sambung ke internet...?", tanyaku puas. Agak keringetan juga rasanya mukaku, walau cuman sekedar sambung sana-sini.
"aah masa...?, secepat itu Ar...?", tanya Tante Vivi yang sejak tadi juga tak pernah beranjak dari sebelah kananku, asyik melihatku bekerja.
"Lha..., iya..., gampang khan...", sahutku pendek. Kupandangi wajah cantiknya yang setengah melongo seolah tak yakin.
"Makanya dicoba dulu dong Tante..., biar tidak nanya-nanya lagi..., mana nih stop kontaknya", tanyaku kemudian.
"iih..., hik..., hik..., gitu aja sewot..., jahat kamu Ar..., hik..., hik..., ehem..., itu ada di belakang meja sebelah bawah Ar...", jawabnya sambil setengah tertawa kecil.
Aku melongok ke bawah meja..., astaga di bawah situ berarti mestinya aku harus merangkak di situ..., sejenak aku melongo.
"Kenapa Ar...?"
"Ooh tidak Papa Tante..".
Akhirnya mau tak mau akhirnya aku harus merangkak masuk ke bawah meja kerjanya yang cukup besar itu sambil tangan kananku menarik kabel power CPU-nya ke bawah. Pengap juga di bawah situ karena memang agak remang, maklum penerangan di kamar ini hanya cuma menggunakan sebuah lampu bohlam sekitar 100 Watt, sinarnya kurang kuat di bawah sini. Sedang lampu meja kerja terpaksa dimatikan untuk stroom komputer. Setelah terpasang ke stop kontak, sambil setengah merangkak mundur aku langsung membalikkan tubuh dan astaga..., aku terhenyak kaget karena melihat Tante Vivi ikut juga melongok membungkuk ke bawah meja, tanpa disengaja kedua mataku menyaksikan pemandangan vulgar yang luar biasa indah.
Woow, Tante Vivi dengan posisi tubuh seperti itu membuat baju kemejanya yang sedikit gombrong dan karena jenis kainnya yang sangat lemas membuatnya jadi melorot ke bawah pas dibagian dada, apalagi kancing kemejanya yang sedikit rendah, membuat kedua bulatan payudaranya yang sangat besar dan berwarna putih terlihat menggantung bak buah semangka, diantara keremangan aku masih dapat melihat dengan sangat jelas betapa indah kedua bongkah susunya yang kelihatan begitu sangat montok dan kencang. Samar kulihat kedua puting mungilnya yang berwarna merah kecoklatan. "Yaa aammpuunn...", bisikku lirih tanpa sadar, "Ia tidak pake Behaa..."
Tante Vivi semula tak menyadari apa yang terjadi dan apa yang sedang kupelototi, 5 detik saja..., bagiku itu sudah cukup lama, Tante Vivi seolah baru menyadari ia menjerit lirih.
"iih...", serunya lirih. Masih dalam posisi membungkuk, tangan kanannya reflek menarik bajunya sampai ke atas leher, setengah pucat ia memandangku lalu berdiri dan mundur 1 langkah. Sudah telanjur, percuma kalau malu, akhirnya dengan cuek aku merangkak ke luar dan berdiri di hadapannya, sambil senyam-senyum seolah tidak salah, akhirnya aku minta maaf juga kepadanya.
"Maaf Tante..., sa..., Ari tidak sengaja...", ujarku cuek. Tante Vivi masih dengan sedikit pucat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil. Wajahnya kelihatan memerah.
"Sudahlah..., Ar...", sahutnya pendek. Dalam hati aku berbisik, lumayan dapat tontonan susu gede gratiss.
Selama 30 menit kedepan, bak seorang instruktur kawakan aku mengajari Tante Vivi tentang penggunaan program aplikasi Windows dan Internet. Aku berusaha menjelaskan sesingkat dan seefisien mungkin agar tidak terlalu membuang banyak waktu, bagaimanapun aku jadi tidak enak juga karena hari sudah semakin malam. Kulirik arlojiku sudah hampir setengah 12 malam.
"Sudah malem Tante..., besok-besok khan masih bisa belajar Tante..., mm sekarang saya pulang dulu ya Tante...", kataku sambil setengah berjalan hendak keluar kamar.
"Iya deh..., waah..., makasih ya Ar..., kamu pinter sekali mm..., Tante gimana harus ngucapin terima kasih sama kamu Ar..., hik..., hik..", tanyanya sambil tertawa kecil.
"aah..., Tante ini ada-ada aja..., sudah deh..., sudah malem Tante...", jawabku sambil berjalan keluar, Tante Vivi mengikuti di belakangku. Kami terdiam sejenak. Sambil berjalan aku tersenyum, "Gilaa...", Tante Vivi begitu baik dan sopan, ternyata tak seperti yang aku duga dasar otak ngeres, bisikku dalam hati.
Dipintu depan, sekali lagi Tante Vivi mengucapkan banyak terima kasih, aku menyalaminya tangannya yang halus erat-erat. Aku sudah hendak membuka pintu depan, ketika tiba-tiba seekor laba-laba hitam yang cukup besar dengan kaki-kakinya yang panjang langsung meloncat ke lantai begitu tanganku memegang handle pintu, refleks tanganku kutarik ke belakang sambil meloncat mundur, aku tidak tahu dan tidak sengaja ketika diriku menabrak tubuh Tante Vivi, sontak ia terhuyung dan menjerit hendak jatuh. Namun dengan sigap walaupun tubuhku masih setengah merinding, aku langsung memegang lengan kanannya dan kutarik tubuhnya ke arahku. Dalam sedetik tubuhnya telah berada dalam pelukanku. Sweear..., saya memang tidak sengaja memeluk tubuhnya.
"Aduuh..., Ar..., ada apa sih kamu..", pekiknya.
"Anuu Tante..., laba-laba gedhe...", sahutku sambil memandang ke sekeliling ruangan, aku bener-benar senewen sekali rasanya. Sialaan, laba-laba sialaan ngagetin orang aja" bisikku dalam hati. Saat itu aku masih belum sadar kalau kedua tanganku masih memeluk tubuh Tante Vivi, maklum aku sendiri masih terasa merinding.
"Ar...", bisik Tante Vivi di telingaku. Aku menoleh dan terjengah. Ya Ampuun, wajah cantiknya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. Hembusan nafasnya yang hangat sampai begitu terasa menerpa daguku. Wajahnya kelihatan sedikit berkeringat, sorotan kedua matanya yang sedikit sipit kelihatan begitu sejuk dalam pandanganku, hidungnya yang putih mbangir mendengus pelan, dan bibirnya yang ranum kemerahan terlihat basah setengah terbuka..., duh cantiknya. Sejenak aku terpana dengan kecantikan wajahnya yang alami. Ada banyak kesamaan lekuk wajahnya yang cantik dengan wajah kekasihku Selva. Seolah teringat kemesraan dan kebersamaanku bersama Selva, seolah tanpa sadar dan tanpa dapat aku mencegahnya..., kudekatkan mukaku kepadanya. Kesemuanya seolah terjadi begitu saja tanpa aku mengerti sama sekali. Seolah ada magnet yang menuntun dan membimbingku di luar kesadaran..., dan dalam 2 detik bibirku telah mengecup lembut bibir Tante Vivi yang setengah terbuka. Begitu terasa hangat dan lunak. Kupejamkan kedua mataku menikmati kelembutan bibir hangatnya..., terasa manis.
Selama kurang lebih 10 detik aku mengulum bibirnya, meresapi segala kehangatan dan kelembutannya. Dan ketika aku menyadari bahwa Tante Vivi bukanlah Selva, maka...
" ooh...", bisikku kaget, sesaat setelah kecupan itu berakhir. Dengan perasaan kaget bercampur malu aku melepaskan pelukanku. Aku memandang Tante Vivi dengan sejuta rasa bersalah, namun seolah tak yakin aku juga baru menyadari kalau Tante Vivi sama sekali tak memberontak ketika aku menciumnya. Kini yang aku lihat betapa wajahnya yang cantik kelihatan semakin cantik. Kedua pipinya yang putih bersih bersemu merah bak boneka barbie, kedua matanya yang sipit memandang redup kepadaku, sementara kedua belah bibirnya masih setengah terbuka dan merekah basah menawan hati.
"Tan.., te..., apa yang kulakukan...", bisikku masih setengah tak percaya atas sikapku barusan kepadanya.
Tante Vivi sama sekali tak menjawab. Tidak ada rona kemarahan di wajahnya yang cantik. Ia hanya tersenyum setengah malu-malu dan menundukkan muka. Sejenak kami berdua terdiam..., hening dalam pikiran masing-masing.
Kali ini aku benar-benar malu pada diriku sendiri, terlalu gampang mengumbar perasaan kepada setiap orang..., aahh tetapi..., kenapa ada sesuatu yang lain pada tubuhku..., sesuatu yang aku begitu sangat mengenalnya..., astaga..., aku merasa batang penisku telah berdiri tegak..., tuing..., tuiing..., gilaa begitu cepatnya batang penisku mengeras dan mendesak celana dalamku seolah ingin berontak keluar.
"Sudahlah Ar... ", bisik Tante Vivi lirih, memecah keheningan itu. Aku tersadar pula.
"Maafkan Ari Tante..., sa..., saya..., teringat Selva Tante...", sahutku setengah gugup.
Tante Vivi tersenyum semakin manis. Bibir ranumnya yang barusan kukecup semakin indah menawan membentuk senyuman mesra.
"Kamu rindu Ar..., sama dia...", tanyanya seolah melupakan peristiwa yang barusan. Aku sedikit bernapas lega karena ia kelihatan sama sekali tidak marah. Aku tidak tahu apa alasannya namun yang penting aku bisa meredam rasa maluku.
"Eehh..., iya Tante...", sahutku beralasan.
"Ya sudahlah..., tidak pa-pa Ar...", sahutnya enteng. Mau tak mau aku jadi bingung juga melihat sikapnya. Semudah itukah. Mencium seseorang yang bukan apa-apanya secara disengaja, itu tidak apa-apa?
"Tante tidak marah...?", tanyaku balik. Entah kenapa aku seolah diatas angin melihat sikapnya dan seolah timbul keberanianku.
"Tidak Ar...", jawabnya sambil tetap tersenyum manis. Kedua matanya memandangku dengan sejuta arti. Dalam pandanganku wajahnya kelihatan semakin bertambah cantik dan cantik. Sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang terpelajar seperti aku yang sudah kenyang dengan cerita pengalaman orang lain plus pengalamanku sendiri, apalagi soal perilaku seks. Sikap Tante Vivi seperti itu seolah sebagai tantangan dan ajakan. Otakku berpikir cepat, menimbang..., dan memutuskan. Sampai disitu jalan pikiranku menjadi buntu..., yang ada hanyalah..., nafsu.
Seolah ada yang memberiku kekuatan dan keberanian, kuraih tubuh Tante Vivi yang masih berada di hadapanku dan kubawa kembali ke dalam pelukanku. Benar saja..., ia sama sekali tak melawan atau memberontak. Seolah lemas saja tubuhnya yang seksi montok itu berada dalam dekapanku. Wajahnya yang cantik bak bidadari kahyangan memandangku pasrah dan tetap dengan senyum manis bibirnya yang kian menggoda. Kedua pipinya kelihatan semakin memerah pula menambah kecantikannya. Aku semakin terpana.
"Apa yang ingin kau lakukan Ar...", bisiknya lirih setengah kelihatan malu.
Kedua tanganku yang memeluk pinggangnya erat terasa sedikit gemetar memendam sejuta rasa. Dan tanpa terasa jemari kedua tanganku telah berada di atas pantatnya yang bulat. Mekal dan padat. Lalu perlahan kuusap mesra sambil berbisik.
"Tante pasti tahu apa yang akan Ari lakukan...", bisikku pelan. Jiwaku telah terlanda nafsu. Telah kulupakan bayangan Dina dan juga Selva. Aku lupa diri, setan-setan burik telah menyapu habis pikiranku tentang mereka.
"Kau yakin Ar...", tanya Tante Vivi lirih. Ooh..., desakan kedua buah payudaranya yang besar pada dadaku membuat batang penisku semakin tegang tak terkira.
"Yaa..., Tante...", sahutku tanpa mengerti maksud pertanyaannya. Dengan cepat aku sudah membayangkan keindahan tubuhnya yang telanjang bulat, kemontokan payudaranya yang besar dan kencang, kemulusan kulit tubuhnya dan..., aahh bukit kemaluannya yang besar..., wooww...
Tanpa terasa batang penisku kurasakan memuntahkan cairan beningnya, aku merasa seolah telah memasuki liang vaginanya. Tanpa dapat kucegah, kuremas gemas kedua belah pantatnya yang terasa kenyal padat dari balik celana jeans ketatnya.
"Oouuhh... ", Tante Vivi mengeluh lirih.
Bagaimanapun juga anehnya aku saat itu masih bisa menahan diri untuk tidak bersikap over atau kasar terhadapnya, walau nafsu seks-ku saat itu terasa sudah diubun-ubun namun aku ingin sekali memberikan kelembutan dan kemesraan kepadanya. Hanya setan-setan burik sialan itu yang menyuruhku agar segera melucuti pakaian Tante Vivi dan memperkosa sepuasnya.
"aah..., ki.. Kita ke kamar Tante...", bisikku semakin bernafsu.
Lalu dengan gemas aku kembali melumat bibirnya. Kusedot dan kukulum bibir hangatnya secara bergantian dengan mesra atas dan bawah. Kecapan-kecapan kecil terdengar begitu indah, seindah cumbuanku pada bibir Tante Vivi. Kedua jemari tanganku masih mengusap-usap sembari sesekali meremas pelan kedua belah pantatnya yang bulat padat dan kenyal. Aku masih menahan diri untuk tak bergerak terlalu jauh, walau sebenarnya hatiku begitu ingin sekali meraba selangkangan atau meremas payudaranya. Entah kenapa aku ingin bersikap lembut dan romantis. Bahkan kecupan bibirku padanya kulakukan selembut dan semesra mungkin, aku kira Tante Vivi sangat menyukainya. Bibirnya yang terasa hangat dan lunak berulang kali memagut bibirku sebelah bawah dan aku membalasnya dengan memagut bibirnya yang sebelah atas. ooh..., terasa begitu nikmatnya. Dengusan pelan nafasnya beradu dengan dengusan nafasku dan berulang kali pula hidungnya yang kecil mbangir beradu mesra dengan hidungku. Kurasakan kedua lengan Tante Vivi telah melingkari leherku dan jemari tangannya kurasakan mengusap mesra rambut kepalaku.
Batang kejantananku terasa semakin besar dan mendesak liar di dalam CD-ku. Teng..., teng..., teng..., aku mulai merasakan kesakitan apalagi karena posisi tubuh kami yang saling berpelukan erat membuat batang penisku yang menonjol dari balik celanaku itu terjepit dan menempel keras di perut Tante Vivi yang empuk.
Sampai disitu aku tak mampu menahan diri lagi, birahiku telah mengalahkan segala-galanya. Keyakinan dan akal sehatku seakan telah tertutup oleh lingkaran nafsu. Kenikmatan seks yang pernah kurasakan bersama Dina telah membuatku semakin lupa diri. Seolah menemukan daging segar yang baru, sejenak kemudian kulepaskan pagutan bibirku pada bibir Tante Vivi.
aah..., wajah cantiknya itu kelihatan semakin berkeringat, dan bibirnya yang basah oleh liurku merekah indah. Begitu ranum bak bibir gadis remaja. Kedua bola matanya sedikit redup dan memandangku pasrah. Aku melihat ada sejuta keinginan terpendam dalam sorot matanya itu. Aku bisa menduga Tante Vivi pasti tak tahan hidup menjanda, bagaimanapun aku tahu ia pasti jelas sudah tak perawan lagi,... aku hanya bisa menduga-duga dengan apa Tante Vivi melampiaskan kebutuhan batinnya selama ini.
"Aku menginginkanmu, Tante...", bisikku padanya terus terang. Pikiranku sudah tertutup oleh nafsu, namun bagaimanapun aku tak ingin grusa-grusu seenak sendiri. Dengan sikapku ini otomatis aku melatih diri untuk mengontrol keinginan seks-ku yang cenderung vulgar.
"oouh..., Ar..., Tante juga ingin..., oouhh..".
Belum habis ucapannya yang sangat merangsang itu, badanku membungkuk dan meraih tubuh montok Tante vivi dalam pondonganku. Ia agak sedikit kaget melihat tindakanku, namun sejenak kemudian ia tertawa genit dan manja ketika aku mulai membopong tubuh seksinya itu masuk kembali melintasi ruang tengah menuju ke dalam kamar. Lengan kanannya merangkul leherku sementara jemari tangan kirinya mengusap mesra kedua pipi dan wajahku. Tante vivi kelihatan setengah malu-malu kubopong seperti ini.
"Kamu ganteng Ar...", bisiknya padaku mesra sambil tersenyum manis.
"Kamu juga cantik Tante...", balasku tak kalah mesra. Kami berdua sempat tertawa kecil karena kekanakan ini.
"Ar..., panggil aku Vivi saja yaa...", ujar Tante Vivi padaku. Aku mengangguk senang.
Di dalam kamarnya, kuturunkan tubuh Tante Vivi dari boponganku di sisi kiri tempat tidurnya. Kami berdua saling berpandangan mesra dalam jarak sekitar 1 meter. Aah..., kunikmati seluruh keindahan bidadari di depanku ini, mulai dari wajahnya yang cantik menawan, lekak-lekuk tubuhnya yang begitu seksi dan montok, bayangan bundar kedua buah payudaranya yang besar dan kencang dengan kedua putingnya yang lancip, perutnya yang ramping dan pantatnya yang bulat padat bak gadis remaja, pahanya yang seksi dan aah..., kubayangkan betapa indah bukit kemaluannya yang kelihatan begitu menonjol dari balik celana jeansnya..., mm..., betapa nikmatnya nanti saat batang penisku memasuki liang vaginanya yang sempit dan hangat..., mm akan kutumpahkan sebanyak mungkin air maniku ke dalam liang vaginanya sebagai bukti kejantananku..., "Oohh.., Vivi...", bisikku dalam hati. Akan kulumat dirimu dengan kenikmatan.
"Ar..., kamu duluan sayang...", bisik Tante Vivi, membuyarkan fantasi seks-ku padanya.
Wajahnya yang cantik tersenyum manis, seolah ia mengetahui apa yang ada dalam pikiranku kedua jemari tangannya kini berada di atas kedua belah payudaranya sendiri. Tante Vivi mulai mengusap perlahan kedua bulatan payudaranyanya yang besar dari balik baju kemejanya. Seolah merangsang dan menggodaku. Aku tak tahan melihat tingkahnya, andai saja Tante Vivi tahu betapa sakitnya batang penisku yang terjepit di dalam CD-ku seolah memberontak ingin keluar. aah..., dengan cuek aku mulai membuka kancing kemejaku satu persatu dengan cepat..., srrt..., kulemparkan bajuku sekenanya ke samping, pandangan kedua mataku seolah tak lepas dari tubuh Tante Vivi yang semakin menggoda..., srrt..., kutarik kaos singletku keatas sampai lepas dan kulempar sekenanya pula. Tak puas sampai di situ, dengan jemari gemetar menahan nafsu aku mulai membuka sabuk celana dan menarik turun ritsluiting celana panjangku dan sruut..., langsung turun ke bawah (kebetulan aku mengenakan celana baggy dari katun).
"Ooh...", Tante Vivi memekik kecil saat melihat tubuhku yang setengah polos. Kulihat kedua jemari tangannya meremas kuat payudaranya sendiri yang besar, mulutnya yang manis sedikit melongo dan kedua bola matanya yang hitam seakan setengah melotot pula memandang ke tubuhku bagian bawah. Sekilas aku melirik ke bawah dan tersenyum geli sendiri. Bagaimana tidak ternyata batang penisku yang sudah tegak itu mendesak hebat ke atas sampai kepala penisku tanpa terasa melongok keluar dari dalam celana dalamku. Begitu besar dan tebal mendongak ke atas persis di bawah pusarku. Kepala penisku kelihatan bengkak memerah karena tegang yang tak terkira. Batang penisku tidak terlalu panjang memang hanya sekitar 14 centi, namun ukuran diameternya cukup besar dan yang paling membuatku bangga adalah bentuknya yang mirip sekali dengan milik bintang film porno "Rocco Siffredi"..., montok dan berurat.
Kuusap pelan batang penisku yang sedang berdiri nakal itu dari balik celana dalam. mm..., terasa begitu nikmat. Kurasakan ada sedikit cairan bening yang keluar dan menempel pada jemari tanganku. mm..., bagaimanapun juga batang penisku ini pernah merobek dan merenggut keperawanan Dina. Tass..., Sekelebat bayangan wajah Dina seolah berada di depan pelupuk mataku. Aku seolah tersadar kembali.
Astaga..., aah..., apa yang aku lakukan ini?, nuraniku seakan menjerit. Sejenak pikiranku berkecamuk. Dan ketika bayangan wajah kekasihku Selva muncul, batinku semakin menjerit. aah..., apa yang aku lakukan Selva..? Terjadi perang berkecamuk di dalam batinku. Nuraniku mengatakan agar aku sadar mengingat resiko buruk yang mungkin terjadi dengan perbuatan bejatku, namun dilain pihak pikiranku mengatakan sangat ingin mencumbu dan melampiaskan nafsu seks-ku kepada Tante Vivi. Sikap Tante Vivi bagiku merupakan kejutan besar yang menggairahkan hati. Aku tak ingin melewatkan kesempatan indah yang tak mungkin dilain waktu akan terulang lagi. Batinku menjerit namun pikiranku yang dipenuhi nafsu seolah lebih kuat. Entah berapa lama aku memejamkan mata menanti perang di batinku akan berakhir. Aku merasa imanku terlalu lemah sedangkan darah mudaku yang penuh dengan gejolak birahi terlalu begitu perkasa.
Ketika aku membuka kedua mataku kembali kulihat Tante Vivi sudah tak berada di hadapanku lagi. Semula aku sedikit heran, lalu instingku menoleh ke samping kiri dan..., Astagaa..., mataku terbeliak kaget menyaksikan pemandangan indah yang begitu luar biasa..., begitu mempesona..., begitu menggairahkan..., begitu aahh...
Kedua mataku melotot sampai ingin keluar menyaksikan tubuh Tante Vivi yang kini ternyata telah berada di atas pembaringan tanpa tertutup sehelai benang. Betapa begitu putih mulus tubuh moleknya yang bugil telanjang bulat, jauh lebih putih dari tubuh Dina..., memamerkan semua keindahan, kemulusan dan kemontokan lekak-lekuk tubuhnya yang bak gadis usia remaja.

(Bersambung ke Bagian-2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar